Minangkabau atau lebih singkatnya Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung,Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Sampai hari ini, Minangkabau tetap merupakan bagian dari realita sosial kehidupan kemanusiaan. Sebuah suku bangsa atau etnik yang “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan suku-suku bangsa lainnya di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Ikut bertungkus lumus memperjuangkan negara ini menjadi sebuah negara merdeka yang berdaulat.
Banyak para putra-putranya yang sahid mempertahankan negara ini, yang jadi pahlawan pengharum sejarah, tokoh kebangsaan dan politisi, ilmuwan dan budayawan yang memberi warna berbagai pemikiran. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas, bahasa dan sastra yang indah, sistem sosial spesifik yang tetap setia diamalkan, suku bangsa yang dinamis dan terus berkembang ke seantero muka bumi, mempunyai keyakinan keagamaan yang semakin mantap dan selalu mengasah dan menguji pengalaman etika dan estetikanya yang menyentuh rasa dan meninggikan citra. Minangkabau bukanlah sebuah negeri dongeng yang hanya didendangkan oleh para tukang kaba atau story-teller dengan iringan saluang sejenis musik purba, sebagaimana yang dianggap orang selama ini.
Mengabarkan dan mengaburkan merupakan dua kata yang saling berdekatan dan saling berkaitan. Mengabarkan, memberi kabar dan mengaburkan memberi kabar juga tetapi berada di luar perkabaran. Dalam kesehariannya, orang Minangkabau bila jumpa sesamanya, akan selalu saling mengabarkan hal ihwal dirinya. “Baa kaba?” atau “bagaimana kabar” adalah ungkapan yang sangat akrab antara mereka. Artinya, satu sama lain saling membutuhkan informasi, hal ikhwal, dan persoalan yang jika berat “supaya sama-sama dipikul” dan jika ringan “sama-sama dijinjing”.
Di balik itu semua, ungkapan yang sangat familiar ini mengandung kejujuran terhadap realita sosial yang tengah mereka hadapi. Tidak untuk berpura-pura, tidak untuk saling menyenangkan hati, tidak untuk saling tipu menipu. Semua itu dituntun oleh kaidah”silaturrahim” yang diajarkan keyakinan keagamaannya.
Mengabarkan dan mengaburkan merupakan dua kata yang saling berdekatan dan saling berkaitan. Mengabarkan, memberi kabar dan mengaburkan memberi kabar juga tetapi berada di luar perkabaran. Dalam kesehariannya, orang Minangkabau bila jumpa sesamanya, akan selalu saling mengabarkan hal ihwal dirinya. “Baa kaba?” atau “bagaimana kabar” adalah ungkapan yang sangat akrab antara mereka. Artinya, satu sama lain saling membutuhkan informasi, hal ikhwal, dan persoalan yang jika berat “supaya sama-sama dipikul” dan jika ringan “sama-sama dijinjing”.
Di balik itu semua, ungkapan yang sangat familiar ini mengandung kejujuran terhadap realita sosial yang tengah mereka hadapi. Tidak untuk berpura-pura, tidak untuk saling menyenangkan hati, tidak untuk saling tipu menipu. Semua itu dituntun oleh kaidah”silaturrahim” yang diajarkan keyakinan keagamaannya.
No comments:
Post a Comment